Minggu, 25 Mei 2014







Tingkat putus sekolah yang masih tinggi
Kita ambil contoh pada tingkat pendidikan dasar. Seperti diungkapkan Suryadarma dan Jones, berkat ‘rejeki nomplok’ (windfall) dari minyak pada tahun 1970an, terjadi peningkatan dramatis jumlah anak yang masuk pendidikan dasar, sehingga diharapkan Indonesia sudah mencapai ‘pendidikan dasar universal’ pada 1983. Tetapi masalahnya, bukan sekadar pernah sekolah, tetapi seberapa banyak murid yang berhasil menyelesaikan SD itu sendiru. Ternyata sampai awal 1990-an hanya 66 persen anak yang bisa tamat SD dan meningkat 81 persen pada tahun ajaran 2007-2008. Bisa dipastikan, prosentase ini tidak banyak meningkat setelah itu. Ini mengindikasikan ada satu sistem yang salah dari sistem pendidikan kita. Sehingga sebenarnya prosesnyalah yang perlu kita cermati dan benahi  bersama.
Dalam dasawarsa kedua abad 21, masih sangat banyak anak Indonesia yang tak berhasil menamatkan pendidikan dasar. Walhasil ketika terpaksa bekerja untuk menyambung hidup, mereka mengalami ‘butahuruf fungsional’ (functional illiteracy) yang membuat kian terpuruknya tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia.
Kualitas Guru/Pendidik
Pentingnya guru berkualitas tinggi dan perlunya mencari cara untuk merekrut staf terbaik. Hal ini meliputi status dan rasa hormat serta besaran gaji. Tentu hal ini bukan hal yang mudah mengingat banyak orang-orang terbaik kita dalam hal pendidikan yang lebih memilih bekerja di luar negeri ketimbang bekerja di institusi sekolah dalam negeri. Tapi akhir-akhir ini, sebuah gerakan sederhana mulai digaungkan untuk memupuk jiwa nasionalisme untuk pendidikan salah satunya adalah inisiasi Bapak Anies Baswedan yaitu Gerakan Indonesia Mengajar dimana semua pemuda terbaik Indonesia bisa berpartisipasi untuk mengajar  terutama di daerah-daerah pelosok negeri selama satu tahun dan akan dilanjutkan setiap tahunnya oleh Pengajar Muda berikutnya. Ini membuktikan kepada kita tentang masih adanya rasa kepedulian kaum muda Indonesia dalam memajukan pendidikan di negara kita tercinta ini. Para pengajar muda itu merasakan sistem pendidikan secara langsung dan dari sanalah mereka bisa membangun sistem pendidikan tersebut.
Sistem Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan yang menekankan pada pembentukan nilai-nilai karakter pada anak didik. Mengutip empat ciri dasar pendidikan karakter yang dirumuskan oleh seorang pencetus pendidikan karakter dari Jerman yang bernama FW Foerster.
  1. Pendidikan karakter menekankan setiap tindakan berpedoman terhadap nilai normatif. Anak didik menghormati norma-norma yang ada dan berpedoman pada norma tersebut.
  2. Adanya koherensi atau membangun rasa percaya diri dan keberanian, dengan begitu anak didik akan menjadi pribadi yang teguh pendirian dan tidak mudah terombang-ambing dan tidak takut resiko setiap kali menghadapi situasi baru.
  3. Adanya otonomi, yaitu anak didik menghayati dan mengamalkan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadinya. Dengan begitu, anak didik mampu mengambil keputusan mandiri tanpa dipengaruhi oleh desakan dari pihak luar.
  4. Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan adalah daya tahan anak didik dalam mewujudkan apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan marupakan dasar penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter penting bagi pendidikan di Indonesia. Pendidikan karakter akan menjadi basic dalam pembentukan karakter berkualitas bangsa, yang tidak mengabaikan nilai-nilai sosial seperti toleransi, kebersamaan, kegotongroyongan, saling membantu dan mengormati dan sebagainya. Pendidikan karakter akan melahirkan pribadi unggul yang tidak hanya memiliki kemampuan kognitif saja namun memiliki karakter yang mampu mewujudkan kesuksesan.
Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat, ternyata kesuksesan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Dan, kecakapan soft skill ini terbentuk melalui pelaksanaan pendidikan karater pada anak didik. Pendidikan karakter hendaknya dirumuskan dalam kurikulum, diterapkan metode pendidikan, dan dipraktekkan dalam pembelajaran. Selain itu, di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar juga sebaiknya diterapkan pola pendidikan karakter.
Dari ulasan diatas, perlu disimpulkan bahwa pentingnya mengurangi tingkat putus sekolah terutama di tingkat pendidikan dasar, memperbaiki kualitas pendidik/ guru dengan melibatkan peran aktif pemuda, serta membangun pendidikan berkarakter adalah kewajiban kita bersama sebagi Warga Negara Indonesia dalam memajukan Pendidikan Indonesia karena “sebuah masyarakat yang berpendidikan akan lebih mudah diatur dan bekerjasama untuk mencapai pintu kemenangan terakhir”. Bravo Pendidikan Indonesia yang Lebih Baik !!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar