Pendidikan
tidak selalu identik dengan sekolah atau madrasah (schooling). Pendidikan
adalah proses mentransfer nilai, pengetahuan, dan ketrampilan dari generasi
tua kepada generasi muda untuk hidup sejahtera pada zamannya. Karena itu,
kita harus sanggup mendasain pendidikan untuk masa depan, demikian apa
yang disampaikan oleh Prof. A. Qodri Aziziy, Ph.D-- Dirjen Bagais Depag
RI di Jakarta baru-baru ini. Dengan demikian, maka format pendidikan haruslah
fokus, memiliki arah, tujuan (purpose), target dan imajinasi kehidupan
yang diidealkan di masa depan. Pendidikan harus sanggup menghasilkan produk
anak terdidik, karena pendidikan mempunyai andil besar dalam mempertanggungjawabkan
kondisi moralitas bangsa dan kualitas SDM. Tepatlah kirannya kalau pendidikan
dapat disebut sebagai human capital.
Krisis
multidimensional yang melanda bangsa Indonesia yang kemudian “diobati”
dengan reformasi, ternyata diikuti pula oleh beberapa anomali yang bersifat
kontraproduktif, yakni krisis etika dan moralitas yang semakin akut. Perilaku
korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi penyakit sosial bangsa ini. Dekadensi
moral yang luar biasa merupakan penyebab utama keterpurukan bangsa yang
dulu dikenal sebagai bangsa yang santun dan taat beragama. Aneh memang,
bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan melandaskan falsafah
negaranya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, ternyata menjadi negara yang paling
korup di Asia dan di dunia. Angka Human Development Index (HDI) kita juga
tertinggal jauh dengan negara yang dulunya belajar dengan kita.
Prestasi
yang semakin menurun dan citra yang buruk merupakan ironi bagi kita. Para
pakar berpendapat bahwa krisis moneter yang menggelinding menjadi krisis
multidimensional salah satu penyebabnya adalah masih dimarginalkannya
pendidikan sebagai faktor perubah nasib bangsa. Perubahan bangsa baik
yang mengarah kepada kemajuan (progresif) maupun yang mengarah kepada
kemunduran (regresif) merupakan masalah yang terkait langsung maupun tidak
langsung dengan penyelengaraan pendidikan, baik formal, maupun informal.
Pendidikan sebagai human capital akan menjadi suatu aset dan berperan
sebagai agen perubahan sosial yang akan mampu membawa dan mengarahkan
seseorang (penduduk Indonesia) pada umumnya untuk meraih masa depan yang
gemilang berkeadilan dan sejahtera.
Kenyataan
menunjukan bahwa perkembangan bangsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir
ini mengarah kepada perubahan yang bersifat regresif (mundur), terutama
dalam bidang etika dan moral (akhlak). Berbagai bentuk KKN terjadi pada
semua lini kehidupan, sampai pada akhirnya KKN dianggap sebagai sesuatu
yang “lumrah”, biasa saja. Kondisi tersebut diperparah lagi
dengan tingginya tingkat kriminalitas, permisifnya masyarakat terhadap
sexs dan pornografi. Murid sekolah dasar-pun bisa “leluasa”
untuk mengakses, VCD porno, gambar-gambar merangsang di dalam koran, majalah,
bahkan televisi. Inikah hasil reformasi yang diinginkan? Tentu saja tidak.
Mengapa bangsa ini bisa jatuh dalam kubangan seperti ini? Adalah kenyataan
dewasa ini bangsa kita menjadi ikon terhadap hal-hal yang buruk. Tingginya
angka korupsi, terorisme, rendahnya mutu pendidikan, tingginya angka pengangguran
dan kemiskinan dan hal-hal negatif lainnya yang dilekatkan dengan negara
kita. Tentu saja kita mau berubah, dan dalam situasi seperti ini komitmen
ingin berubah secara kolektif merupakan sebuah keniscayaaan.
Situasi
dan kondisi moral dan etika bangsa yang terpuruk secara kolektif tersebut
diatas menjadi sebuah tanda tanya besar bagi bangsa ini. Bukankah pendidikan
agama telah menjadi materi wajib yang harus diajarkan sejak dari SD hingga
Perguruan Tinggi. Memang tidaklah fair, kalau kesalahan tersebut hanya
ditumpukan pada dunia pendidikan semata. Karena ada faktor-faktor lain,
sebagai akibat dari tekanan sosial-ekonomi yang sedemikian keras juga
ikut mempengaruhi, memberi andil dalam membuat terjadinya regresi dan
dekadensi etika dan akhlak.
Dalam
konteks ini diperlukan re-orientasi pendidikan yang mampu memperbaiki
problem pendidikan yang sedang dihadapi. Salah satu upaya yang ditempuh
adalah dengan mengintegrasikan konsep pesantren dalam Perguruan Tinggi.
Mahasiswa di asramakan, dengan dipantau oleh seorang guru atau Kyai. Dengan
munculnya beberapa Universitas Islam Negeri (UIN), gagasan ini mungkin
bisa diharapkan dan disinergikan .Karena dengan UIN, maka akan dapat membuka
fakultas umum dan secara bersamaan akan mendapatkan “siraman”
pendidikan agama secara lebih sempurna. Pemahaman ke-Islaman pada gilirannya
juga tidak menjadi sempit. Karena disenyalir bahwa terjadinya Islam radikal
justru lebih banyak tumbuh subur di PTU yang memiliki wawasan keagamaan
yang sempit, tekstual dan cenderung ke arah Islam simbolik. Pembacaan
ulang (re-reading) terhadap metode pengajaran pendidikan agama Islam di
PTU juga perlu dilihat kembali. Karena dari sanalah salah satunya yang
melahirkan para pejabat yang mengelola negara ini. Dengan paradigma sistem
pengajaran baru PAI di PTU dan desain baru Perguruan Tinggi Agama Islam,
kita harapkan ada perubahan yang signifikan, terutama cara pandang memandang
pendidikan yang tidak sebelah mata, akan tetapi pendidikan di prioritasikan
sebagai human investment yang akan berguna di kemudian hari. Semoga saja
demikian adanya.(Adib, Gja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar