Rabu, 29 Oktober 2014

MENDESAIN PENDIDIKAN BERORIENTASI KE MASA DEPAN

Pendidikan tidak selalu identik dengan sekolah atau madrasah (schooling). Pendidikan adalah proses mentransfer nilai, pengetahuan, dan ketrampilan dari generasi tua kepada generasi muda untuk hidup sejahtera pada zamannya. Karena itu, kita harus sanggup mendasain pendidikan untuk masa depan, demikian apa yang disampaikan oleh Prof. A. Qodri Aziziy, Ph.D-- Dirjen Bagais Depag RI di Jakarta baru-baru ini. Dengan demikian, maka format pendidikan haruslah fokus, memiliki arah, tujuan (purpose), target dan imajinasi kehidupan yang diidealkan di masa depan. Pendidikan harus sanggup menghasilkan produk anak terdidik, karena pendidikan mempunyai andil besar dalam mempertanggungjawabkan kondisi moralitas bangsa dan kualitas SDM. Tepatlah kirannya kalau pendidikan dapat disebut sebagai human capital.
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia yang kemudian “diobati” dengan reformasi, ternyata diikuti pula oleh beberapa anomali yang bersifat kontraproduktif, yakni krisis etika dan moralitas yang semakin akut. Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi penyakit sosial bangsa ini. Dekadensi moral yang luar biasa merupakan penyebab utama keterpurukan bangsa yang dulu dikenal sebagai bangsa yang santun dan taat beragama. Aneh memang, bangsa dengan penduduk muslim terbesar di dunia dan melandaskan falsafah negaranya pada Ketuhanan Yang Maha Esa, ternyata menjadi negara yang paling korup di Asia dan di dunia. Angka Human Development Index (HDI) kita juga tertinggal jauh dengan negara yang dulunya belajar dengan kita.
Prestasi yang semakin menurun dan citra yang buruk merupakan ironi bagi kita. Para pakar berpendapat bahwa krisis moneter yang menggelinding menjadi krisis multidimensional salah satu penyebabnya adalah masih dimarginalkannya pendidikan sebagai faktor perubah nasib bangsa. Perubahan bangsa baik yang mengarah kepada kemajuan (progresif) maupun yang mengarah kepada kemunduran (regresif) merupakan masalah yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan penyelengaraan pendidikan, baik formal, maupun informal. Pendidikan sebagai human capital akan menjadi suatu aset dan berperan sebagai agen perubahan sosial yang akan mampu membawa dan mengarahkan seseorang (penduduk Indonesia) pada umumnya untuk meraih masa depan yang gemilang berkeadilan dan sejahtera.
Kenyataan menunjukan bahwa perkembangan bangsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini mengarah kepada perubahan yang bersifat regresif (mundur), terutama dalam bidang etika dan moral (akhlak). Berbagai bentuk KKN terjadi pada semua lini kehidupan, sampai pada akhirnya KKN dianggap sebagai sesuatu yang “lumrah”, biasa saja. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan tingginya tingkat kriminalitas, permisifnya masyarakat terhadap sexs dan pornografi. Murid sekolah dasar-pun bisa “leluasa” untuk mengakses, VCD porno, gambar-gambar merangsang di dalam koran, majalah, bahkan televisi. Inikah hasil reformasi yang diinginkan? Tentu saja tidak. Mengapa bangsa ini bisa jatuh dalam kubangan seperti ini? Adalah kenyataan dewasa ini bangsa kita menjadi ikon terhadap hal-hal yang buruk. Tingginya angka korupsi, terorisme, rendahnya mutu pendidikan, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan dan hal-hal negatif lainnya yang dilekatkan dengan negara kita. Tentu saja kita mau berubah, dan dalam situasi seperti ini komitmen ingin berubah secara kolektif merupakan sebuah keniscayaaan.
Situasi dan kondisi moral dan etika bangsa yang terpuruk secara kolektif tersebut diatas menjadi sebuah tanda tanya besar bagi bangsa ini. Bukankah pendidikan agama telah menjadi materi wajib yang harus diajarkan sejak dari SD hingga Perguruan Tinggi. Memang tidaklah fair, kalau kesalahan tersebut hanya ditumpukan pada dunia pendidikan semata. Karena ada faktor-faktor lain, sebagai akibat dari tekanan sosial-ekonomi yang sedemikian keras juga ikut mempengaruhi, memberi andil dalam membuat terjadinya regresi dan dekadensi etika dan akhlak.
Dalam konteks ini diperlukan re-orientasi pendidikan yang mampu memperbaiki problem pendidikan yang sedang dihadapi. Salah satu upaya yang ditempuh adalah dengan mengintegrasikan konsep pesantren dalam Perguruan Tinggi. Mahasiswa di asramakan, dengan dipantau oleh seorang guru atau Kyai. Dengan munculnya beberapa Universitas Islam Negeri (UIN), gagasan ini mungkin bisa diharapkan dan disinergikan .Karena dengan UIN, maka akan dapat membuka fakultas umum dan secara bersamaan akan mendapatkan “siraman” pendidikan agama secara lebih sempurna. Pemahaman ke-Islaman pada gilirannya juga tidak menjadi sempit. Karena disenyalir bahwa terjadinya Islam radikal justru lebih banyak tumbuh subur di PTU yang memiliki wawasan keagamaan yang sempit, tekstual dan cenderung ke arah Islam simbolik. Pembacaan ulang (re-reading) terhadap metode pengajaran pendidikan agama Islam di PTU juga perlu dilihat kembali. Karena dari sanalah salah satunya yang melahirkan para pejabat yang mengelola negara ini. Dengan paradigma sistem pengajaran baru PAI di PTU dan desain baru Perguruan Tinggi Agama Islam, kita harapkan ada perubahan yang signifikan, terutama cara pandang memandang pendidikan yang tidak sebelah mata, akan tetapi pendidikan di prioritasikan sebagai human investment yang akan berguna di kemudian hari. Semoga saja demikian adanya.(Adib, Gja)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar