Rabu, 29 Oktober 2014

MENEROPONG TANTANGAN PENDIDIKAN GLOBAL

Dunia yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan berubah semakin cepat dan kompetitif. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan, termasuk lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menghadapi tantangan serius untuk mampu mengikuti sekaligus berada digarda depan perubahan global tersebut. Kalau tidak mampu menjawabnya, maka lembaga pendidikan tidak akan berwibawa di hadapan roda dinamika zaman yang berjalan dengan cepat. Bahkan, lembaga pendidikan akan dianggap tidak mampu mengantisipasi realitas kekinian yang terjadi.
Karena itu, tidak ada waktu santai bagi dunia pendidikan dalam merespon secara cepat perubahan global tersebut. Ia harus mendinamisasi diri secara massif dan akseleratif agar mampu mengejar ketertinggalan dan mampu memimpin perubahan masa depan yang meniscayakan kreativitas tinggi, produktivitas memadai, dan daya jangkau yang mendunia. Reformasi besar-besaran harus segera dilakukan lembaga pendidikan jika tetap ingin survive dan memenangkan kompetensi terbuka. Infra dan supra struktur harus dilengkapi, didefinisikan ulang, dan diorientasikan ulang secara efektif, baik konsep maupun implementasinya.
1 Lihat kompas, tanggal 20/4/2009
Laporan kompas (20/4/2009) menjelaskan, betapa prguruan-perguruan tinggi disingapura sudah jauh-jauh hari mengirim tim khusus untuk mengamati dan bernegosiasi dengan para pelajar berprestasi di Indonesia dengan iming-iming fasilitas memadai dan masa depan yang prospektif agar mereka melanjutkan studi dan bekerja disana. Ini adalah tamparan keras bangsa ini. Asset-aset potensial masa depan ditelantarkan bangsa sendiri dan dimanfaatkan pihak asing untuk kepentingannya.1
Kalau realitasnya seperti ini, kapan bangsa ini bisa sejajar dengan bangsa-bangsa yang maju. Jika sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif diangkut ke negeri asing dan dijadikan tenaga professional di negeri mereka, maka yang tersisa di negeri ini tentu kader-kader muda yang rendah kualitasnya, kurang percaya diri menghadapi perubahan, dan malas belajar. Kedepan bangsa ini menjadi bangsa yang miskin dan terbelakang, menjadi budak di negeri sendiri, tanahnya menjadi rebutan investor asing dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan.
Disinilah urgensi lembaga pendidikan meneropong tantangan-tantangan dunia dengan kecepatan tinggi, mendeskripsikannya secara detail, menyiapkan langkah-langkah terukur dan sistematis, dan berjuang mewujudkan mimpi besar sebagai Negara yang melek ilmu pengetahuan dan teknologi. Murid-murid berprestasi diperhatikan dengan serius, diberikan beasiswa penuh untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam dan luar negeri, dan memberikan prospek pekerjaan cerah sesuai dengan bidang keahliannya. dari sinilah, pelan tapi pasti, bangsa ini akan mengalami perkembangan signifikan dalam penguasaan iptek. Intinya semua berawal dari penataan lembaga pendidikan yang efektif yang melahirkan aktor-aktor  genius masa depan yang kreatif.
Dengan demikian, pendidikan harus memberikan hal-hal yang terkait dengan pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga hal-hal yang terus berlangsung. Karena hidup terus berlangsung, maka menangani pendidikan sebetulnya sama dengan menangani masa depan, me-manage masa depan. Oleh karena itu, pendidikan harus terus menerus diperbaharui, dipertegas, dan dipertajam.
Menjemput masa depan yang cerah membutuhkan sebuah proses yang cukup serius. Di situlah peran seorang pendidik untuk mengondisikan peserta didik, baik di tengah keluarga, masyarakat, ataupun secara formal sekolah. Sehingga, sekarang orang pun tidak terlalu memilah-milah antara pendidikan disekolah dan pendidikan di rumah yang merupakan terminology pendidikan klasik yang formal. Oleh karena itu, pendidikan tidak akan pernah berakhir. Long life education.
Sayang, di tengah pusaran perubahan dahsyat sekarang ini, tantangan pendidikan semakin kompleks. Setiap insan pendidikan dituntut untuk merumuskan tantangan tersebut dan menjawabnya dengan ide-ide segar yang solutif dan aplikatif. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal.
A.    Tantangan eksternal
Tantangan eksternal yang dirasakan dunia pendidikan saat ini antara lain:
1.      Globalisasi
Globalisasi sering diterjemahkan dengan istilah mendunia. Suatu entitas, betapa pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun, akan dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan, data, informasi, produksi, pembangunan, sabotase, dan sebagainya; begitu disampaikan, saat ini pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia.
Globalisasi, selain menghadirkan peluang positif, juga dapat menghadirkan peluang negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan penyesatan. Dalam globalisasi terjadi “banjir pilihan dan peluang”, terserah kemampuan seseorang untuk memilikinya. Dalam ranah pendidikan, mampukah kita menciptakan dan mengembangkan system pendidikan yang menghasilkan lulusan-lulusan yang “mampu memilih” tanpa kehilangan peluang dan jati diri kita?
2.      Kompleksitas
2 Lihat Prof. Dr. mastuhu, M.Ed , memotret tentang tantangan lembaga pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan  eksternal dan internal, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (2003)
Kompleksitas mengesankan bahwa sesuatu terjadi secara serentak, sekaligus, dalam waktu yang sama, dan semrawut. Saat ini, semua pihak, terutama para pesaing, pemimpin perusahan, supplier, distributor, ilmuwan, dan pemimpin, berada dan berlomba dalam perubahan yang terus menerus.
Dalam zaman modern, tidak ada yang tetap kecuali perubahan. Masalahnya, mampukah kita menyambut dan bermain dengan perubahan sebagai peraturan yang tidak terhindarkan, tanpa kita diatur atau didikte oleh perubahan?
3.      Turbulence
Turbulence adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat bagaikan membangunkan harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang berjalan rutin, normal dan damai. Turbulence berasal dari istilah yang menggambarkan kekuatan dahsyat dari tengah mesin seperti “mesin turbo” untuk menggambarkan menggambarkan kekuatan mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari Turbulence adalah daya ledak atau daya ubah yang luar biasa, memporak-porandakan system peluang emas bagi para pelaku system.
Masalahnya, system pendidikan yang bagaimanakah yang mampu mengantar anak didik untuk tidak mudah “terkejut”, “terheran-heran”, dan mudah “collapse” atau jatuh, dan putus asa, tetapi mampu bangkit kembali dengan lebih segar, penuh semangat dan percaya diri?
4.      Dinamika
Inti pengertian dinamika adalah perubahan. Suka atau tidak suka, kita harus menyambut perubahan. Paradigma baru dalam memandang dinamika adalah makin dinamis sesuatu, ia makin stabil, dan stabilitas yang makin kokoh akan semakin menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang berputar cepat, makin cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya. Sebaliknya, makin lambat perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil dan akhirnya jatuh. Tetapi masalahnya adalah gerakan dinamika yang semakin tinggi juga membuka peluang benturan antara berbagai komponen atau mata rantai elemen yang menjadi unsur-unsur dari system yang bersangkutan, dan terbuka peluang catastrophes (kecelakaan atau kegagalan).
Kiat baru dari manajemen modern adalah kegagalan suatu system justru ditentukan oleh mata rantai yang paling rendah dinamikanya. Factor utama yang menentukan tinggi rendahnya dinamika adalah sumber daya manusia, ilmu, teknologi, dan telekomunikasi. Dari segi pendidikan, mampukah kita mengembangkan system pendidikan yang dapat membawa anak didik mampu mengembangkan model dinamika dalam kesatuannya dengan stabilitas agar tujuan pembangunan dapat tercapai?
5.      Akselerasi
Akselerasi adalah gerak naik atau gerak maju yang dalam era informasi hal itu adalah perubahan, dengan kata-kata kunci akselerasi cepat dan meningkat; di dalam dunia bisnis, faktor kunci yang menentukan sukses adalah kompetisi. Dari sudut pandang ini, mampukah sistem pendidikan membawa anak didik menyadari pentingnya waktu dan manfaatnya?
6.      Keberlanjutan dari Kuno Menuju modern
Ada suatu kenyataan bahwa yang modern tidak begitu saja lahir dan mengada atau exist tanpa yang tradisional. Sebaiknya, yang tradisional hanya akan menjadi dongeng masa lalu tanpa diinjeksi dengan temuan, nilai, pemikiran, semangat, dan harapan baru. Dalam zaman modern ini, orang dituntut untuk tetap melestarikan nilai-nilai lama, yang luhur yang bermoral dan seterusnya, sekalipun dari dimensi teknokratiknya terdapat hal-hal tertentu yang harus sudah ditinggalkan karena sudah tidak cocok lagi dengan masalah yang dihadapi dengan tetap bersumber pada nilai-nilai luhur (moral) dari ajaran agama dan nilai kemanusiaan yang terus berkembang dalam budaya dan pandangan hidup bangsa. Kata-kata kunci untuk menyambut yang kuno dan yang modern adalah tetap dalam perubahan, bahkan mengantisipasinya, dan menyadari sepenuhnya bahwa perubahan-perubahan yang bergerak maju dan semakin cepat itu tidak selalu bergerak linear menurut hukum sebab akibat dan dapat diprediksi.
7.      Konektivitas
Dalam zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu berdiri sendiri. Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan kerja. Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan jaringan global, melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari suatu kemajuan teknologi dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja global. Saat ini, kita sulit mengisolasi diri tetap dalam kehidupan alami tanpa terkontaminasi oleh kehidupan modern yang penuh dengan rekayasa dan barang pengawet.
8.      Konvergensi
Konvergensi muncul bila dua system yang berbeda bergerak menuju satu titik temu atau suatu pola tanpa meleburkan diri ke dalam satu system. Namun, berkat teknologi yang semakin canggih dapat diperoleh model baru yang lebih efektif, produktif, efisien, murah, dan dengan kualitas yang lebih baik. Dalam era informasi global, terjadi konvergensi yang membawa benturan ide, tradisi, system, dan sebagainya. Dari silang pendapat ini kemudian terdapat nilai-nilai baru yang secara universal dapat diterima oleh semua pihak, disamping tetap menyisakan nilai-nilai lama yang berbeda.
Dengan demikian, core konvergensi dalam abad ke-21 adalah lahirnya entitas baru yang merupakan tuntutan global, yang menyebar dengan lebih cepat, murah, tepat/benar, praktis, dapat diterima secara universal, serta memiliki keguanaan berkali lipat, tanpa meleburkan diri ke dalam sistem-sistem yang baru.
9.      Konsolidasi
Di era global, terdapat kecenderungan dari berbagai subsistem yang tadinya independen kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan unit atau blok yang lebih besar sekaligus dengan strategi baru untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak terbatas pada bidang bisnis saja, tetapi juga pada semua bidang, termasuk bidang agama.
10.  Rasionalisasi
Semua system dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang dan mengevaluasi kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien, dan produktif dalam mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan men-setting ulang atau merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai atau meredefinisikan visi, misi, orientasasi, tujuan, strategi, alat, SDM-nya, dan sebagainya; demi tercapainya cita-cita yang dituju.
11.  Paradoks Global
Paradoks global benar-benar telah membudaya dalam tata kehidupan modern di abad ke-21. Paradoks merupakan suatu perumusan atau pernyataan yang absurd, membingungkan karena tampak bertentangan. Sebab, di dalamnya berisi dua entitas yang saling bertentangan satu sama lain, tetapi dikemas dalam satu perumusan atau satu pernyataan. Meski demikian, paradoks tetap abash dan dibenarkan, misalnya “ lebih sedikit adalah lebih banyak”. Pernyataan tersebut berasal dari bidang arsitektur yang maksudnya adalah makin sedikit anda mengacaukan suatu gedung dengan hiasan, makin anggun gedung dimaksud.
            Paradoks merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan. Tetapi, paradoks dalam kehidupan modern terasa lebih menggugah dan mendorong untuk berpikir lebih tajam dan cerdik. Misalnya semakin kecil, semakin besar. Maksudnya, seperti telepon genggam, makin kecil, makin praktis, tetapi jangkauannya semakin besar dan beragam. “ semakin besar ekonomi dunia, semakin kuat pula para pemain terkecilnya”.  Maksudnya, perusahan-perusahan raksasa, tunggal, dan memusat cenderung stagnan dalam memperoleh keuntungan. Karena itu mereka mengubah diri dalam system hierarchy (sentralistis) menjadi system heterarki, otonom, reformasi (desentralisasi), yaitu dengan memperbanyak pusat kekuatan otonom dengan memperbanyak pusat kekuasaan otonom dengan menggunakan beratus-ratus stasiun kera on-line di seluruh penjuru dunia dengan hanya ditangani oleh beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan jari tetapi menggunakan alat informasi komunikasi yang amat canggih. Diperkirakan, penyelenggaraan pendidikan yang bermutu juga akan membutuhkan system heterarki seperti di atas.
12.  Kekuatan Pikiran
Sejarah mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan social yang lebih tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya, makin tinggi dan penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan modern suatu masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk meraih ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu dapat lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran penciptanya. Sering kali manusia yang menciptakannya terkejut dan terjeran-heran menyaksikan dampak atau implikasi dan temuannya. Denis Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
Persoalannya, system pendidikan yang bagaimanakah yang mampu menghasilkan alumni yang ilmuwan, cendekiawan, dan produktif dalam penemuan baru, tetapi tetap menjadikan ilmunya sebagai system yang mengabdi kepada kehidupan bersama dan kepada nilai-nilai kemanusiaan? Wawasan akademik yang bagaimana yang harus kita kembangkan dalam system pendidikan kita?
B.     Tantangan Internal
Selain tantangan eksternal, tantangan internal pendidikan Indonesia adalah kebijakan pemerintah yang masih belum progresif, baik Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
Pertama, Orde Lama (1945-1965). System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun 1945 yang menyatakan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh Republik Indonesia, selanjutnya dilengkapi dengan persetujuan parlemen, dan beberapa Kepres yang mengiringinya untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang levelnya instrumental dan operasional. Misalnya, inpres No. 8 Tahun 1955 tentang pedoman belajar di luar negeri, UU No. 8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya.
Kedua, Orde Baru, dari 1965-1998, System Pendidikan Nasional diselenggarakan berdasarkan UU no. 2 Tahun 1989, dan diikuti dengan perraturan-peraturan pemerintah pelaksanaannya seperti PP No. 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra sekolah, dan PP No. 28, 29, dan 60 Tahun 1990 bertutur tentang pendidikan Pendidikan Dasar Menengah, dan Pendidikan Tinggi, dan sebagainya.
Seiring keadaan tersebut, UU No. 2 tahun 1989 yang merupakan produk Orde Baru, juga semakin terasa ketidaksesuaiannya dengan tuntutan global. Dalam pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 sangat terasa:
Ø  Setralisasi. Kerja pendidikan diatur secara memusat, dari pusat sampai ke pelosok-pelosok daerah yang sangat terpencil, meliputi kurikulum, metode ajar, tenaga kependidikan, penilaian, ijazah, otoritas penyelenggaraaannya, dana sarana, dan sebagainya.
Ø  Tidak demokratis. Adanya sekolah-sekolah negeri dan swasta yang berbeda secara diskriminatif, meliputi dana, sarana, otoritas, dan pengakuan terhadap ijazahnya. Baik buruknya sekolah swasta diakui dan ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh pasar dan pengguna jasa pendidikan, dan sebagainya.
Ø  Penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan di bawah otoritas kekuasaan, lengkap dengan otoritas administrasi berakurasi pemerintahan. Padahal, pendidikan adalah kerja akademik dan bukan kerja perkantoran pemerintahan. Tidak berbeda antara menyelenggarakan kantor camat atau kelurahan dengan menyelenggarakan sekolah atau perguruan. Hal ini berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya, penyelenggarakan perguruan tinggi (PT).
Ketiga, Orde Reformasi, dari 1997 sehingga sekarang. Bersamaan dengan terbongkarnya kepalsuan rezim Orde Baru, orde Reformasi mengalami keguncangan politik yang amat hebat. Hal itu disebabkan oleh “kran demokrasi” yang dibuka terlalu lebar. Tampaknya pemimpin dan rakyat masih sama-sama belajar berdemokrasi. Barang kali, mereka tidak menyadari bahwa demokrasi tidak identik dengan kebebasan tanpa rambu-rambu. Ingat, demokrasi tidak akan bermakna tanpa tegaknya sistem dan hukum serta tingginya profesionalitas. System Pendidikan Nasional masih diatur berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989, yang semua pihak menilainya bahwa UU ini sudah harus diganti dengan yang baru sesuai dengan tantangan global. Maka munculnya UU No 20 Tahun 2003 dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Setiap unit atau organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dalam menjabarkan  kegiatannya mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional ditentukan oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan masukan dari masyarakat atau para pakar yang berkompeten dan kemudian dirumuskan oleh pemerintah dan anggota DPR.
Disinilah fungsi strategis lembaga pendidikan untuk merevitalisasi fungsinya dalam membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader masa depan andal yang dibutuhkan di era kompetisi terbuka, dan mengantisipasi segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif sehingga dihormati bangsa-bangsa lain di dunia.
Melahirkan “Habibi-Habibi” baru tantangan serius dunia pendidikan. Indonesia sangat membutuhkan sosok teknolog kelas dunia yang mampu berkreasi dan berjuan keras untuk kemajuan bangsa. Stok politisi dan ekonom kita sudah over, sedangkan stok teknolognya sangat kurang. Stok teknolog inilah yang harus diperbanyak agar mereka mampu mengelola kekayaan sember daya alam secara efisien, produktif, dan akuntabel. Bukan terus menerus menyerahkan  kepada Negara asing yang banyak kepentingan bisnisnya. Dengan mampu mengelola sendiri, kemandirian bangsa ini semakin kuat dan posisi tawar menawarnya dengan bangsa lain semakin tinggi. Bangsa ini tidak terus ditekan dan ditentukan nasibnya oleh bangsa lain, tapi oleh dirinya sendiri dalam mengembangkan aset-aset produktif bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Potret pendidikan di atas, baik internal maupun eksternal, adalah tantangan serius bagi insan pendidikan untuk mengubahnya menjadi peluang berprestasi. Orang yang sukses adalah yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang meraih sukses. Oleh karena itu, semua insan pendidikan seyogianya memandang tantangan pendidikan di atas sebagai starting point melakukan langkah-langkah dinamis dan progresif dalam mengembangkan diri seoptimal mungkin untuk mengejar ketertinggalan dan kemunduran. Jangan berlaku putus asa, patah semangat, dan mundur teratur, sekali kita mundur, maka kondisi pendidikan di negeri ini semakain amburadul dan bangsa ini semakin tertindas.
Menurut Ahmad Makki dalam Jamal Ma’mur Asmani, jika pendidikan dalam sebuah bangsa sudah maju, niscaya akan maju pula bangsa itu. Sebaliknya ketika pendidikan di suatu bangsa tidak berkembang, maka dapat dipastikan bangsa akan terbelakang. Pada hakikatnya, pendidikan bertujuan memfasilitasi pencapaian tujuan kehidupan manusia yang sesungguhnya. Untuk itulah sekarang kita dituntut untuk dapat mengembangkan system pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman global, dengan pendidikan yang berperspektif global.
http://ichal-pendidikan.blogspot.com/2011/06/blog-post.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar