Dunia
yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan berubah semakin
cepat dan kompetitif. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan,
termasuk lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menghadapi tantangan
serius untuk mampu mengikuti sekaligus berada digarda depan perubahan
global tersebut. Kalau tidak mampu menjawabnya, maka lembaga pendidikan
tidak akan berwibawa di hadapan roda dinamika zaman yang berjalan dengan
cepat. Bahkan, lembaga pendidikan akan dianggap tidak mampu
mengantisipasi realitas kekinian yang terjadi.
Karena
itu, tidak ada waktu santai bagi dunia pendidikan dalam merespon secara
cepat perubahan global tersebut. Ia harus mendinamisasi diri secara
massif dan akseleratif agar mampu mengejar ketertinggalan dan mampu
memimpin perubahan masa depan yang meniscayakan kreativitas tinggi,
produktivitas memadai, dan daya jangkau yang mendunia. Reformasi
besar-besaran harus segera dilakukan lembaga pendidikan jika tetap ingin
survive dan memenangkan
kompetensi terbuka. Infra dan supra struktur harus dilengkapi,
didefinisikan ulang, dan diorientasikan ulang secara efektif, baik
konsep maupun implementasinya.
1 Lihat kompas, tanggal 20/4/2009
|
Kalau
realitasnya seperti ini, kapan bangsa ini bisa sejajar dengan
bangsa-bangsa yang maju. Jika sumber daya manusia yang cerdas dan
kreatif diangkut ke negeri asing dan dijadikan tenaga professional di
negeri mereka, maka yang tersisa di negeri ini tentu kader-kader muda
yang rendah kualitasnya, kurang percaya diri menghadapi perubahan, dan
malas belajar. Kedepan bangsa ini menjadi bangsa yang miskin dan
terbelakang, menjadi budak di negeri sendiri, tanahnya menjadi rebutan
investor asing dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan.
Disinilah
urgensi lembaga pendidikan meneropong tantangan-tantangan dunia dengan
kecepatan tinggi, mendeskripsikannya secara detail, menyiapkan
langkah-langkah terukur dan sistematis, dan berjuang mewujudkan mimpi
besar sebagai Negara yang melek ilmu pengetahuan dan teknologi.
Murid-murid berprestasi diperhatikan dengan serius, diberikan beasiswa
penuh untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi di berbagai
perguruan tinggi, baik di dalam dan luar negeri, dan memberikan prospek
pekerjaan cerah sesuai dengan bidang keahliannya. dari sinilah, pelan
tapi pasti, bangsa ini akan mengalami perkembangan signifikan dalam
penguasaan iptek. Intinya semua berawal dari penataan lembaga pendidikan
yang efektif yang melahirkan aktor-aktor genius masa depan yang kreatif.
Dengan
demikian, pendidikan harus memberikan hal-hal yang terkait dengan
pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga hal-hal yang terus
berlangsung. Karena hidup terus berlangsung, maka menangani pendidikan
sebetulnya sama dengan menangani masa depan, me-manage masa depan. Oleh karena itu, pendidikan harus terus menerus diperbaharui, dipertegas, dan dipertajam.
Menjemput
masa depan yang cerah membutuhkan sebuah proses yang cukup serius. Di
situlah peran seorang pendidik untuk mengondisikan peserta didik, baik
di tengah keluarga, masyarakat, ataupun secara formal sekolah. Sehingga,
sekarang orang pun tidak terlalu memilah-milah antara pendidikan
disekolah dan pendidikan di rumah yang merupakan terminology pendidikan
klasik yang formal. Oleh karena itu, pendidikan tidak akan pernah
berakhir. Long life education.
Sayang,
di tengah pusaran perubahan dahsyat sekarang ini, tantangan pendidikan
semakin kompleks. Setiap insan pendidikan dituntut untuk merumuskan
tantangan tersebut dan menjawabnya dengan ide-ide segar yang solutif dan
aplikatif. Prof. Dr. Mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga
pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal.
A. Tantangan eksternal
Tantangan eksternal yang dirasakan dunia pendidikan saat ini antara lain:
1. Globalisasi
Globalisasi
sering diterjemahkan dengan istilah mendunia. Suatu entitas, betapa pun
kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun, akan
dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide,
gagasan, data, informasi, produksi, pembangunan, sabotase, dan
sebagainya; begitu disampaikan, saat ini pula diketahui oleh semua orang
di seluruh dunia.
Globalisasi,
selain menghadirkan peluang positif, juga dapat menghadirkan peluang
negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan penyesatan. Dalam
globalisasi terjadi “banjir pilihan dan peluang”, terserah kemampuan
seseorang untuk memilikinya. Dalam ranah pendidikan, mampukah kita
menciptakan dan mengembangkan system pendidikan yang menghasilkan
lulusan-lulusan yang “mampu memilih” tanpa kehilangan peluang dan jati
diri kita?
2. Kompleksitas
2 Lihat Prof. Dr. mastuhu, M.Ed , memotret tentang tantangan lembaga pendidikan dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal, Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (2003)
|
Dalam
zaman modern, tidak ada yang tetap kecuali perubahan. Masalahnya,
mampukah kita menyambut dan bermain dengan perubahan sebagai peraturan
yang tidak terhindarkan, tanpa kita diatur atau didikte oleh perubahan?
3. Turbulence
Turbulence
adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat bagaikan membangunkan
harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang berjalan rutin,
normal dan damai. Turbulence
berasal dari istilah yang menggambarkan kekuatan dahsyat dari tengah
mesin seperti “mesin turbo” untuk menggambarkan menggambarkan kekuatan
mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari Turbulence adalah daya ledak atau daya ubah yang luar biasa, memporak-porandakan system peluang emas bagi para pelaku system.
Masalahnya,
system pendidikan yang bagaimanakah yang mampu mengantar anak didik
untuk tidak mudah “terkejut”, “terheran-heran”, dan mudah “collapse” atau jatuh, dan putus asa, tetapi mampu bangkit kembali dengan lebih segar, penuh semangat dan percaya diri?
4. Dinamika
Inti
pengertian dinamika adalah perubahan. Suka atau tidak suka, kita harus
menyambut perubahan. Paradigma baru dalam memandang dinamika adalah
makin dinamis sesuatu, ia makin stabil, dan stabilitas yang makin kokoh
akan semakin menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang
berputar cepat, makin cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya.
Sebaliknya, makin lambat perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil
dan akhirnya jatuh. Tetapi masalahnya adalah gerakan dinamika yang
semakin tinggi juga membuka peluang benturan antara berbagai komponen
atau mata rantai elemen yang menjadi unsur-unsur dari system yang
bersangkutan, dan terbuka peluang catastrophes (kecelakaan atau kegagalan).
Kiat
baru dari manajemen modern adalah kegagalan suatu system justru
ditentukan oleh mata rantai yang paling rendah dinamikanya. Factor utama
yang menentukan tinggi rendahnya dinamika adalah sumber daya manusia,
ilmu, teknologi, dan telekomunikasi. Dari segi pendidikan, mampukah kita
mengembangkan system pendidikan yang dapat membawa anak didik mampu
mengembangkan model dinamika dalam kesatuannya dengan stabilitas agar
tujuan pembangunan dapat tercapai?
5. Akselerasi
Akselerasi
adalah gerak naik atau gerak maju yang dalam era informasi hal itu
adalah perubahan, dengan kata-kata kunci akselerasi cepat dan meningkat;
di dalam dunia bisnis, faktor kunci yang menentukan sukses adalah
kompetisi. Dari sudut pandang ini, mampukah sistem pendidikan membawa
anak didik menyadari pentingnya waktu dan manfaatnya?
6. Keberlanjutan dari Kuno Menuju modern
Ada suatu kenyataan bahwa yang modern tidak begitu saja lahir dan mengada atau exist
tanpa yang tradisional. Sebaiknya, yang tradisional hanya akan menjadi
dongeng masa lalu tanpa diinjeksi dengan temuan, nilai, pemikiran,
semangat, dan harapan baru. Dalam zaman modern ini, orang dituntut untuk
tetap melestarikan nilai-nilai lama, yang luhur yang bermoral dan
seterusnya, sekalipun dari dimensi teknokratiknya terdapat hal-hal
tertentu yang harus sudah ditinggalkan karena sudah tidak cocok lagi
dengan masalah yang dihadapi dengan tetap bersumber pada nilai-nilai
luhur (moral) dari ajaran agama dan nilai kemanusiaan yang terus
berkembang dalam budaya dan pandangan hidup bangsa. Kata-kata kunci
untuk menyambut yang kuno dan yang modern adalah tetap dalam perubahan,
bahkan mengantisipasinya, dan menyadari sepenuhnya bahwa
perubahan-perubahan yang bergerak maju dan semakin cepat itu tidak
selalu bergerak linear menurut hukum sebab akibat dan dapat diprediksi.
7. Konektivitas
Dalam
zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu berdiri sendiri.
Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan
kerja. Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan
jaringan global, melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari
suatu kemajuan teknologi dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja
global. Saat ini, kita sulit mengisolasi diri tetap dalam kehidupan
alami tanpa terkontaminasi oleh kehidupan modern yang penuh dengan
rekayasa dan barang pengawet.
8. Konvergensi
Konvergensi
muncul bila dua system yang berbeda bergerak menuju satu titik temu
atau suatu pola tanpa meleburkan diri ke dalam satu system. Namun,
berkat teknologi yang semakin canggih dapat diperoleh model baru yang
lebih efektif, produktif, efisien, murah, dan dengan kualitas yang lebih
baik. Dalam era informasi global, terjadi konvergensi yang membawa
benturan ide, tradisi, system, dan sebagainya. Dari silang pendapat ini
kemudian terdapat nilai-nilai baru yang secara universal dapat diterima
oleh semua pihak, disamping tetap menyisakan nilai-nilai lama yang
berbeda.
Dengan demikian, core
konvergensi dalam abad ke-21 adalah lahirnya entitas baru yang
merupakan tuntutan global, yang menyebar dengan lebih cepat, murah,
tepat/benar, praktis, dapat diterima secara universal, serta memiliki
keguanaan berkali lipat, tanpa meleburkan diri ke dalam sistem-sistem
yang baru.
9. Konsolidasi
Di
era global, terdapat kecenderungan dari berbagai subsistem yang tadinya
independen kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan unit atau blok
yang lebih besar sekaligus dengan strategi baru untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik. Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak terbatas
pada bidang bisnis saja, tetapi juga pada semua bidang, termasuk bidang
agama.
10. Rasionalisasi
Semua
system dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang dan mengevaluasi
kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien, dan
produktif dalam mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan
men-setting ulang atau merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai
atau meredefinisikan visi, misi, orientasasi, tujuan, strategi, alat,
SDM-nya, dan sebagainya; demi tercapainya cita-cita yang dituju.
11. Paradoks Global
Paradoks
global benar-benar telah membudaya dalam tata kehidupan modern di abad
ke-21. Paradoks merupakan suatu perumusan atau pernyataan yang absurd,
membingungkan karena tampak bertentangan. Sebab, di dalamnya berisi dua
entitas yang saling bertentangan satu sama lain, tetapi dikemas dalam
satu perumusan atau satu pernyataan. Meski demikian, paradoks tetap
abash dan dibenarkan, misalnya “ lebih sedikit adalah lebih banyak”.
Pernyataan tersebut berasal dari bidang arsitektur yang maksudnya adalah
makin sedikit anda mengacaukan suatu gedung dengan hiasan, makin anggun
gedung dimaksud.
Paradoks
merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan. Tetapi,
paradoks dalam kehidupan modern terasa lebih menggugah dan mendorong
untuk berpikir lebih tajam dan cerdik. Misalnya semakin kecil, semakin
besar. Maksudnya, seperti telepon genggam, makin kecil, makin praktis,
tetapi jangkauannya semakin besar dan beragam. “ semakin besar ekonomi
dunia, semakin kuat pula para pemain terkecilnya”. Maksudnya,
perusahan-perusahan raksasa, tunggal, dan memusat cenderung stagnan
dalam memperoleh keuntungan. Karena itu mereka mengubah diri dalam
system hierarchy (sentralistis) menjadi system heterarki,
otonom, reformasi (desentralisasi), yaitu dengan memperbanyak pusat
kekuatan otonom dengan memperbanyak pusat kekuasaan otonom dengan
menggunakan beratus-ratus stasiun kera on-line
di seluruh penjuru dunia dengan hanya ditangani oleh beberapa orang
saja yang dapat dihitung dengan jari tetapi menggunakan alat informasi
komunikasi yang amat canggih. Diperkirakan, penyelenggaraan pendidikan
yang bermutu juga akan membutuhkan system heterarki seperti di atas.
12. Kekuatan Pikiran
Sejarah
mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan social yang lebih
tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya, makin tinggi
dan penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan modern
suatu masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk
meraih ilmu dan kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu
dapat lebih cepat dan lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran
penciptanya. Sering kali manusia yang menciptakannya terkejut dan
terjeran-heran menyaksikan dampak atau implikasi dan temuannya. Denis
Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani mengatakan bahwa pengetahuan adalah
kekuasaan.
Persoalannya,
system pendidikan yang bagaimanakah yang mampu menghasilkan alumni yang
ilmuwan, cendekiawan, dan produktif dalam penemuan baru, tetapi tetap
menjadikan ilmunya sebagai system yang mengabdi kepada kehidupan bersama
dan kepada nilai-nilai kemanusiaan? Wawasan akademik yang bagaimana
yang harus kita kembangkan dalam system pendidikan kita?
B. Tantangan Internal
Selain
tantangan eksternal, tantangan internal pendidikan Indonesia adalah
kebijakan pemerintah yang masih belum progresif, baik Orde Lama, Orde
Baru, dan Orde Reformasi.
Pertama,
Orde Lama (1945-1965). System Pendidikan Nasional diselenggarakan
berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun
1945 yang menyatakan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh Republik
Indonesia, selanjutnya dilengkapi dengan persetujuan parlemen, dan
beberapa Kepres yang mengiringinya untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan
yang levelnya instrumental dan operasional. Misalnya, inpres No. 8 Tahun
1955 tentang pedoman belajar di luar negeri, UU No. 8 Tahun 1990
tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), PP No. 38 Tahun 1992
tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya.
Kedua, Orde
Baru, dari 1965-1998, System Pendidikan Nasional diselenggarakan
berdasarkan UU no. 2 Tahun 1989, dan diikuti dengan perraturan-peraturan
pemerintah pelaksanaannya seperti PP No. 27 tahun 1990 tentang
pendidikan pra sekolah, dan PP No. 28, 29, dan 60 Tahun 1990 bertutur
tentang pendidikan Pendidikan Dasar Menengah, dan Pendidikan Tinggi, dan
sebagainya.
Seiring
keadaan tersebut, UU No. 2 tahun 1989 yang merupakan produk Orde Baru,
juga semakin terasa ketidaksesuaiannya dengan tuntutan global. Dalam
pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 sangat terasa:
Ø Setralisasi.
Kerja pendidikan diatur secara memusat, dari pusat sampai ke
pelosok-pelosok daerah yang sangat terpencil, meliputi kurikulum, metode
ajar, tenaga kependidikan, penilaian, ijazah, otoritas
penyelenggaraaannya, dana sarana, dan sebagainya.
Ø Tidak
demokratis. Adanya sekolah-sekolah negeri dan swasta yang berbeda
secara diskriminatif, meliputi dana, sarana, otoritas, dan pengakuan
terhadap ijazahnya. Baik buruknya sekolah swasta diakui dan ditentukan
oleh pemerintah, bukan oleh pasar dan pengguna jasa pendidikan, dan
sebagainya.
Ø Penyelenggaraan
lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan di bawah otoritas kekuasaan,
lengkap dengan otoritas administrasi berakurasi pemerintahan. Padahal,
pendidikan adalah kerja akademik dan bukan kerja perkantoran
pemerintahan. Tidak berbeda antara menyelenggarakan kantor camat atau
kelurahan dengan menyelenggarakan sekolah atau perguruan. Hal ini
berlaku untuk semua jenis dan jenjang pendidikan. Misalnya,
penyelenggarakan perguruan tinggi (PT).
Ketiga, Orde
Reformasi, dari 1997 sehingga sekarang. Bersamaan dengan terbongkarnya
kepalsuan rezim Orde Baru, orde Reformasi mengalami keguncangan politik
yang amat hebat. Hal itu disebabkan oleh “kran demokrasi” yang dibuka
terlalu lebar. Tampaknya pemimpin dan rakyat masih sama-sama belajar
berdemokrasi. Barang kali, mereka tidak menyadari bahwa demokrasi tidak
identik dengan kebebasan tanpa rambu-rambu. Ingat, demokrasi tidak akan
bermakna tanpa tegaknya sistem dan hukum serta tingginya
profesionalitas. System Pendidikan Nasional masih diatur berdasarkan UU
No. 2 Tahun 1989, yang semua pihak menilainya bahwa UU ini sudah harus
diganti dengan yang baru sesuai dengan tantangan global. Maka munculnya
UU No 20 Tahun 2003 dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang
maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis, serta bertanggung jawab. Setiap
unit atau organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan dalam
menjabarkan kegiatannya mengacu
pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional ditentukan
oleh pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan
masukan dari masyarakat atau para pakar yang berkompeten dan kemudian
dirumuskan oleh pemerintah dan anggota DPR.
Disinilah
fungsi strategis lembaga pendidikan untuk merevitalisasi fungsinya
dalam membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader masa
depan andal yang dibutuhkan di era kompetisi terbuka, dan mengantisipasi
segala tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif
sehingga dihormati bangsa-bangsa lain di dunia.
Melahirkan
“Habibi-Habibi” baru tantangan serius dunia pendidikan. Indonesia
sangat membutuhkan sosok teknolog kelas dunia yang mampu berkreasi dan
berjuan keras untuk kemajuan bangsa. Stok politisi dan ekonom kita sudah
over, sedangkan stok teknolognya sangat kurang. Stok teknolog inilah
yang harus diperbanyak agar mereka mampu mengelola kekayaan sember daya
alam secara efisien, produktif, dan akuntabel. Bukan terus menerus
menyerahkan kepada Negara asing
yang banyak kepentingan bisnisnya. Dengan mampu mengelola sendiri,
kemandirian bangsa ini semakin kuat dan posisi tawar menawarnya dengan
bangsa lain semakin tinggi. Bangsa ini tidak terus ditekan dan
ditentukan nasibnya oleh bangsa lain, tapi oleh dirinya sendiri dalam
mengembangkan aset-aset produktif bagi kemajuan dan kesejahteraan
bangsa.
Potret
pendidikan di atas, baik internal maupun eksternal, adalah tantangan
serius bagi insan pendidikan untuk mengubahnya menjadi peluang
berprestasi. Orang yang sukses adalah yang mampu mengubah tantangan
menjadi peluang meraih sukses. Oleh karena itu, semua insan pendidikan
seyogianya memandang tantangan pendidikan di atas sebagai starting point
melakukan langkah-langkah dinamis dan progresif dalam mengembangkan
diri seoptimal mungkin untuk mengejar ketertinggalan dan kemunduran.
Jangan berlaku putus asa, patah semangat, dan mundur teratur, sekali
kita mundur, maka kondisi pendidikan di negeri ini semakain amburadul
dan bangsa ini semakin tertindas.
Menurut
Ahmad Makki dalam Jamal Ma’mur Asmani, jika pendidikan dalam sebuah
bangsa sudah maju, niscaya akan maju pula bangsa itu. Sebaliknya ketika
pendidikan di suatu bangsa tidak berkembang, maka dapat dipastikan
bangsa akan terbelakang. Pada hakikatnya, pendidikan bertujuan
memfasilitasi pencapaian tujuan kehidupan manusia yang sesungguhnya.
Untuk itulah sekarang kita dituntut untuk dapat mengembangkan system
pendidikan yang sesuai dengan tuntutan zaman global, dengan pendidikan
yang berperspektif global.
http://ichal-pendidikan.blogspot.com/2011/06/blog-post.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar