Konsep Pendidikan Seni merupakan ideologi dan isinya sebagai dasar pemikiran penyelenggaraan Pendidikan Seni di sekolah umum (formal). yang diharapkan dengan “pelajaran seni dalam pendidikan
Dalam kurikulum 2004 yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tampaknya ada perubahan kearah perbaikan posisi pendidikan seni. Pendekatan ini mempertegas arah pembelajaran kepada kompetensi yang diharapkan serta memperlihatkan proses pembelajaran berdasar pentahapan kompetensi. Pada tahun 2006 mulai diterapkan kurikulum 2006. Kurikulum ini dikenal dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Dalam pendidikan seni terjadi perubahan nama menjadi SBK (Seni Budaya dan Keterampilan), sedangkan di tingkat sekolah menengah dikenal dengan sebutan Seni Budaya. Pendidikan seni dalam kurikulum ini menekankan isi pembelajaran ialah apresiasi dan kreasi dengan menekankan pada materi seni lokal,nasional dan mancanegara.
Pada dasarnya pendidikan seni di sekolah diarahkan untuk menumbuhkan kepekaan rasa estetik dan artistik sehingga terbentuk sikap kritis, apresiasif dan kreatif pada diri siswa secara menyeluruh. Sikap ini akan tumbuh, apabila dilakukan serangkaian proses kegiatan pada siswa yang meliputi kegiatan pengamatan, penilaian, dan pertumbuhan rasa memiliki melalui keterlibatan siswa dalam segala aktivitas seni di dalam kelas dan atau di luar kelas. Dengan demikian pendidikan seni melibatkan semua bentuk kegiatan berupa aktivitas fisik dan cita rasa keindahan yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berapresiasi dan berkreasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran (seni rupa,musik, tari, dan teater). Masing-masing mencakup materi sesuai dengan bidang seni dan aktivitas dalam gagasan-gagasan seni, keterampilan berkarya seni serta berapresiasi dengan memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat (Diknas, 2004:3).
Fungsi dan tujuan pendidikan seni adalah menumbuhkan sikap toleransi, demokrasi, dan beradab, serta mampu hidup rukun dalam masyarakat majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual, ekspresi melalui seni, mengembangkan kepekaan rasa, ketrampilan, serta mampu menerapkan teknologi dalam berkreasi dan dalam memamerkan dan mempergelarkan karya seni. Sedangkan pada pengorganisasian materi pendidikan seni menggunakan pendekatan terpadu, yang penyusunan kompetensi dasarnya dirancang secara sistemik berdasarkan keseimbangan antara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Selain itu, ditekankan di dalam sistem pendidikan seni diharapkan seni bisa membawa sebuah visi dan misi kehidupan damai pada masyarakat pluralisme di Indonesia, agar tidak mendapat benturan budaya antara satu dengan lainnya dimasa krisis saat ini.
Prof. Soedarso SP., MA., mempertegas bahwa mengenali secara baik hasil karya seni, orang akan mengagumi para penciptanya, karena seni memiliki aspek regional dan juga universal sifatnya, maka seni dapat memupuk kecintaan bangsa sendiri sekaligus sesama manusia (Soedarso1990:80). Pernyataan itu mengajak para pemikir pendidikan dapat mempertimbangkan secara lebih serius antara kompetensi regional seni budaya yang dimasukan sebagai bagian dari sistem pengajaran disekolah-sekolah umum, khususnya seni tradisional (Muatan lokal), yang keberadaannya memiliki arti untuk menghormati keragaman seni yang banyak tumbuh di Indonesia sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah menunjukan keanekaragaman budaya kita tetapi tetap satu. Dengan demikian pendidikan seni bukan untuk menjadikan siswa menjadi seniman terampil, tetapi tempat untuk memberikan wawasan kebangsaan tentang seni tradisi yang dipelajarinya guna menjunjung nilai-nilai luhur warisan budaya Indonesia. Yang artinya dapat menghindari benturan budaya, agama, suku, mencegah tawuran siswa, bersikap jujur, disiplin, taat hukum, memiliki sikap sportivitas, menghargai sesama terhadap perbedaan dan menghindari perbuatan yang bertentangan dengan norma agama seperti kenakalan remaja dan narkoba.
Melihat kepada kenyataan yang ada, secara teori yang telah terencana dalam kurikulum pendidikan seni, nampak bahwa seni dalam pendidikan di sekolah umum sudah menjadi tanggung jawab kita bersama. Meskipun tujuannya hanya untuk mengembangkan kemampuan apresiasi para siswa, namun implikasinya sangat luas bagi arti pendidikan di Indonesia saat ini.
Maman Tocharman (2009) menjelaskan tentang kondisi arus globalisasi yang begitu terbuka, akan memunculkan pertanyaan tentang kesenian Indonesia. Apakah kesenian kita akan bertahan mepertahankan tradisinya, atau akan berkembang bahkan berubah mengikuti tuntutan global? Jawabannya tidaklah mudah dirumuskan sekilas, tetapi perlu pemikiran yang mendalam. Bertahan, berkembang atau berubah? Bila berfikir bahwa seni Indonesia berakar dari seni tradisi, mungkin seni Indonesia kan tetap mempetahankan eksistensinya yang kokoh karena masyarakat pendukungnya. Masyarakat pendukung kesenian yang akan menjadi penentu kelestarian kesenian tertentu.
Masyarakat pendukung kesenian yang bersifat terbuka, akan sangat member peluang masuknya kesenian luar yang ikut mewarnai kesenian Indonesia. Dengan kondisi ini memungkinkan kesenian Indonesia mengalami perkembangan atau perubahan.
Dengan munculnya kesenian formal para pencinta seni harus berbangga hati. Seni turut dilestarikan oleh penguasa. Dengan kenyataan seperti ini artinya seni turut diperhatikan pemerintah. Seni akan tetap memepertahankan tradisinya, berkembang sesuai tuntutan, atau berubah menyesuaikan tuntutan global, atau hilang punah ditelan arus zaman. Kesenian sebagai bagian dari kebudayaan dapat diibaratkan sekeping uang logam. Satu sisi berfungsi sebagai pedoman, dan sisi lainnya sebagai strategi adaptif yang senantiasa menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi. Maka dengan demikian kelestarian kesenian akan sangat tergantung akan masyarakat pendukungnya. Demikian, maka kemudian ada masyarakat yang cepat berubah karena kebudayaannya akomodatif dan cepat berubah, dan ada masyarakat lamban berubah karena kebudayaan (termasuk kesenian) yang didukungnya kukuh dengan tradisi. Akan tetapi jelas bahwa sedikit atau banyak, lambat atau cepat, setiap kebudayaan(termasuk di dalamnya kesenian) akan berubah. (Rohendi, 2000: 212)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar