TAWURAN antarsiswa kini tak lagi kejadian langka di negeri ini.
Hampir setiap saat kita menonton ”pertunjukan” yang mencoreng dunia
pendidikan di Indonesia. Setip hari kita melihat ”tontonan” yang tak
lagi bercirikan identitas bangsa Indonesia. Tak hanya siswa, mahasiswa
pun sering melakukan aksi tawuran. Sungguh sangat menyedihkan dan
memalukan.
Perkelahian antarsiswa ini makin memuncak saat era reformasi
digulirkan tahun 1998. Globalisasi seolah-olah menjadi jawaban dalam
mencapai masyarakat yang sejahtera. Pendidikan agama dan budi pekerti
dianggap nomor dua. Masyarakat lebih menekankan pada pendidikan
eksakta. Seolah-olah semuanya bisa diselesaikan dengan ilmu matematika,
pengetahuan alam, dan ilmu ekonomi. Pendidikan yang bersifat humaniora
dikesampingkan. Banyak orangtua siswa bahkan berpikir jika pendidikan
agama dan humaniora tidak begitu penting dalam menentukan nasib masa
depan anak-anaknya.
Akibatnya muncullah kekerasan di mana-mana. Toleransi sudah tak
terbangun lagi. Semuanya memunculkan egonya tanpa ingat lagi akan satu
bangsa.
Di tengah meningkatnya rasa individualisme tersebut, kini mulai
disadari bahwa pendidikan humaniora sangatlah penting. Kementerian
Pendidikan Nasional telah menyusun grand design pendidikan karakter
bangsa. Ditargetkan, seluruh satuan pendidikan telah mengembangkannya
pada 2014. Tak hanya sekolah, perguruan tinggi juga diharapkan
menerapkannya. Caranya dapat bermacam-macam. Seperti melalui pendidikan
agama dan budaya, termasuk pengadaan kantin kejujuran di sekolah.
Hari Pendidikan Nasional tahun 2010 telah mengangkat tema ”Pendidikan
Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Tema ini diangkat karena
dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk
memfasilitasi perkembangan karakter, sehingga anggota masyarakat
mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan
demokratis.
Pendidikan karakter ini tidak hanya mementingkan kecerdasan siswa,
juga tak kalah penting adalah kejernihan hati. Pembelajaran karakter
itu memberikan peluang bagi peserta didik untuk multikecerdasan yang
mampu mengembangkan sikap-sikap; kejujuran, integritas, komitmen,
kedisiplinan, visioner, dan kemandirian.
Lalu dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa?
Tentu dari pendidikan informal, dan secara paralel berlanjut pada
pendidikan formal dan masyarakat. Tantangan saat ini dan ke depan
bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu
kekuatan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan dan implementasi pendidikan
yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam
rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya
dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan budaya bangsa.
Oleh karenanya pendidikan agama dan humaniora di sekolah, yang banyak
berbicara soal nilai-nilai spiritualitas, moralitas, nilai-nilai
kemanusiaan, harus terus dikembangkan. Sebab, diyakini hal itu akan
memberikan pemahaman kepada peserta didik bahwa keharmonisan dan
kedamaian merupakan sesuatu yang indah dalam hidup ini.
Namun semangat untuk bekerja keras, disiplin dan visioner juga harus
ditekankan. Sebab, semua itu tak bisa dilepaspisahkan untuk mewujudkan
Indonesia yang kokoh dalam persatuan dan maju bersama-sama dalam
ekonomi.
Untuk itu pendidikan seharusnya dibangun berlandaskan nilai-nilai
objektivitas, keilmuan dan kebijaksanaan tanpa mengenyampingkan
pendidikan agama dan humaniora.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar