° Berusahalah untuk memahami kecemasan anak
Kita
harus peka terhadap perasaan negatif hati anak dan yang membuat
hilangnya keberanian anak untuk memulai interaksi sosialnya atau
bergaul. Kita perlu mencari tahu penyebab atau pemicu yang membuat anak
tidak memiliki keberanian untuk bergaul dengan orang lain. Untuk
mengetahui pemicu ketakutan anak untuk berinteraksi, maka kita harus
secara aktif menjalin komunikasi dengan anak. Kita harus mau
mendengarkan, memperhatikan dan menangkap, baik secara tersurat maupun
yang tersirat bentuk-bentuk keluhan anak, mengapa dirinya tidak memiliki keberanian untuk berinteraksi.
Kita
harus mengetahui pemicu perasaan malu anak, apakah bersumber dari rasa
bersalah atau karena merasa kurang percaya diri atau merasa kemampuannya
yang kurang dan di bawah standar. Jika kita telah mengetahui sumber
pemicu perasaan malu anak, maka kita perlu memberi dukungan emosional
pada anak, agar dirinya memiliki keberanian untuk berinteraksi dan
menepis perasaan malu anak tersebut.
Kalau kita temukan perasaan malu anak bersumber dari rasa bersalahnya,
maka kita harus mampu membuat anak untuk mengatasi rasa bersalahnya.
Untuk mengatasi rasa bersalah anak, kita dapat menyadarkan akan
pentingnya rasa bertanggung jawab atas perbuatannya. Kita dapat
mendorong anak untuk berani mengakui kesalahannya dan berani mengucapkan
“minta maaf” atas perbuatan yang kurang baiknya, sebagai wujud rasa bertanggung jawabnya.
Cara
untuk menghilangkan kecemasan, ketakutan atau menyadarkan akan
pentingnya rasa bertanggung jawab pada anak, adakalanya tidak harus
dengan mengatakan langsung atau memvonis anak telah bersalah dengan
perkataan yang dapat memojokkan anak. Melainkan, kita dapat
mempergunakan perumpamaan. Misalnya, kita dapat bercerita atau
mendongeng pada anak tentang cerita yang mengandung nilai-nilai
ksatriaan.
Nah,
jika anak merasa tertarik dan tergugah perhatiannya akan nilai-nilai
ksatriaan, tentu akan dapat merasakan, bahwa apa yang telah diperbuatnya
ternyata salah, tidak baik dan dapat merugikan orang lain. Dalam
menuturkan cerita, kita harus piawai menyertakan anak dalam alur cerita,
sehingga anak terlibat dalam mencerna nilai-nilai positif yang akan
kita sampaikan padanya. Kita dapat menggiring pendapat anak akan
pentingnya memiliki rasa tanggung jawab atas perbuatannya. Begitu juga,
kita dapat menggiring anak, untuk merasa tertantang mencari “cara”, agar dirinya dapat “diterima” dengan terbuka oleh teman-temannya maupun orang lain. Dengan kata lain, merangsang inspirasi pada anak untuk “memikirkan cara”,
agar dirinya dapat dengan mudah di terima dalam kelompok bermain dengan
sikap terbuka. Untuk itu, kunci utamanya dapat kita tuturkan, bahwa
anak harus bersedia dengan tulus untuk mau mengucapkan kata “maaf” dari lubuk hatinya pada teman-temannya.
Jika
anak telah berani mengungkapkan rasa bersalahnya, maka berarti anak pun
telah berhasil membongkar atau menyingkirkan beban perasaannya,
sehingga diharapkan timbulnya sikap optimisme anak untuk dapat
berinteraksi atau bergaul dengan orang lain. Begitu juga, sikap
bertanggung jawab yang dipertunjukkan anak dapat mengundang simpati
orang lain padanya, sehingga membuka pintu “penerimaan” teman-temannya untuk bermain atau bergaul.
Kalau perasaan malu anak itu bersumber dari rasa kurang percaya diri atau rasa memiliki kemampuan yang di bawah standar,
maka perlu diusahakan untuk memberi dukungan emosional pada anak, agar
dirinya tidak selalu memandang rendah dirinya maupun kemampuannya. Perlu
diingatkan atau dibangkitkan kesadaran serta semangat anak, bahwa
dirinya masih memiliki potensi yang sama baik dengan orang lain.
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak, terutama anak yang masih balita, maka dapat kita lakukan dengan cara:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar