Selasa, 24 Maret 2015

Bagaimana cara mengatasi rasa malu anak untuk bergaul?

Untuk membantu anak mengatasi perasaan malunya, ketika dirinya hendak berinteraksi sosial atau bergaul, maka hal-hal yang perlu kita lakukan, adalah sebagai berikut:
° Berusahalah untuk memahami kecemasan anak
Kita harus peka terhadap perasaan negatif hati anak dan yang membuat hilangnya keberanian anak untuk memulai interaksi sosialnya atau bergaul. Kita perlu mencari tahu penyebab atau pemicu yang membuat anak tidak memiliki keberanian untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mengetahui pemicu ketakutan anak untuk berinteraksi, maka kita harus secara aktif menjalin komunikasi dengan anak. Kita harus mau mendengarkan, memperhatikan dan menangkap, baik secara tersurat maupun yang tersirat bentuk-bentuk keluhan anak, mengapa dirinya tidak memiliki keberanian untuk berinteraksi.
Kita harus mengetahui pemicu perasaan malu anak, apakah bersumber dari rasa bersalah atau karena merasa kurang percaya diri atau merasa kemampuannya yang kurang dan di bawah standar. Jika kita telah mengetahui sumber pemicu perasaan malu anak, maka kita perlu memberi dukungan emosional pada anak, agar dirinya memiliki keberanian untuk berinteraksi dan menepis perasaan malu anak tersebut.
Kalau kita temukan perasaan malu anak bersumber dari rasa bersalahnya, maka kita harus mampu membuat anak untuk mengatasi rasa bersalahnya. Untuk mengatasi rasa bersalah anak, kita dapat menyadarkan akan pentingnya rasa bertanggung jawab atas perbuatannya. Kita dapat mendorong anak untuk berani mengakui kesalahannya dan berani mengucapkan “minta maaf” atas perbuatan yang kurang baiknya, sebagai wujud rasa bertanggung jawabnya.
Cara untuk menghilangkan kecemasan, ketakutan atau menyadarkan akan pentingnya rasa bertanggung jawab pada anak, adakalanya tidak harus dengan mengatakan langsung atau memvonis anak telah bersalah dengan perkataan yang dapat memojokkan anak. Melainkan, kita dapat mempergunakan perumpamaan. Misalnya, kita dapat bercerita atau mendongeng pada anak tentang cerita yang mengandung nilai-nilai ksatriaan.
Nah, jika anak merasa tertarik dan tergugah perhatiannya akan nilai-nilai ksatriaan, tentu akan dapat merasakan, bahwa apa yang telah diperbuatnya ternyata salah, tidak baik dan dapat merugikan orang lain. Dalam menuturkan cerita, kita harus piawai menyertakan anak dalam alur cerita, sehingga anak terlibat dalam mencerna nilai-nilai positif yang akan kita sampaikan padanya. Kita dapat menggiring pendapat anak akan pentingnya memiliki rasa tanggung jawab atas perbuatannya. Begitu juga, kita dapat menggiring anak, untuk merasa tertantang mencari “cara”, agar dirinya dapat “diterima” dengan terbuka oleh teman-temannya maupun orang lain. Dengan kata lain, merangsang inspirasi pada anak untuk “memikirkan cara”, agar dirinya dapat dengan mudah di terima dalam kelompok bermain dengan sikap terbuka. Untuk itu, kunci utamanya dapat kita tuturkan, bahwa anak harus bersedia dengan tulus untuk mau mengucapkan kata “maaf” dari lubuk hatinya pada teman-temannya.
Jika anak telah berani mengungkapkan rasa bersalahnya, maka berarti anak pun telah berhasil membongkar atau menyingkirkan beban perasaannya, sehingga diharapkan timbulnya sikap optimisme anak untuk dapat berinteraksi atau bergaul dengan orang lain. Begitu juga, sikap bertanggung jawab yang dipertunjukkan anak dapat mengundang simpati orang lain padanya, sehingga membuka pintu “penerimaan” teman-temannya untuk bermain atau bergaul.
Kalau perasaan malu anak itu bersumber dari rasa kurang percaya diri atau rasa memiliki kemampuan yang di bawah standar, maka perlu diusahakan untuk memberi dukungan emosional pada anak, agar dirinya tidak selalu memandang rendah dirinya maupun kemampuannya. Perlu diingatkan atau dibangkitkan kesadaran serta semangat anak, bahwa dirinya masih memiliki potensi yang sama baik dengan orang lain.
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak, terutama anak yang masih balita, maka dapat kita lakukan dengan cara:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar